Langkah progresif ini berawal dari bawahan Bu Risma yang mengetahui ada sopir taksi yang berkomunikasi dengan penumpangnya dengan bahasa Inggris meski tidak begitu lancar.Namun, hal itu justru mendatangkan ide. Cerita itu pun ditindaklanjuti oleh Bu Risma dengan menggodok pendirian Rumah Bahasa.
Gayung bersambut. Gagasan itu rupanya sejalan dengan persiapan Indonesia menghadapi AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau Area Perdagangan Bebas ASEAN yang akan mulai diberlakukan pada 2015. Banyak aspek yang harus dipersiapkan, tidak hanya ekonomi, tapi juga sosial, budaya, politik, edukasi, dan sebagainya. Sebab, AFTA sendiri akan berdampak pada ragam sektor tersebut.
Salah satu dampak langsung yang akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah hadirnya orang-orang dari berbagai negara di ASEAN. Di Indonesia, mereka tidak lagi sekadar menjadi turis, tapi juga tenaga kerja. Dengan segenap keterampilan yang dimiliki, mereka akan siap bersaing dengan tenaga kerja domestik. Jika masyarakat tidak disiapkan untuk menghadapi kompetisi itu, sungguh miris kalau kita cuma jadi penonton saja.
Biar hal itu tidak terjadi, Surabaya sebagai kota kedua terbesar di Indonesia juga kota bisnis mau tak mau harus bertindak pro aktif. Jangan sampai masyarakat gelagapan dengan arus kedatangan para pekerja terampil dari luar. Tapi, mereka juga bisa berperan aktif, tidak hanya untuk mengimbangi tapi juga mengungguli. Jangan pula sampai yang dikedepankan adalah perasaan iri, minder, atau mengeluh berkepanjangan dengan hadirnya para pesaing yang tentunya juga telah menyiapkan diri dengan matang.
Maka, salah satu cara untuk menepis jurang yang kemungkinan terbuka lebar itu adalah melalui bahasa. Harus disadari, bahasa bukan semata urusan pelajaran di sekolah atau perguruan tinggi, namun ia menjelma dalam keseharian kita. Bahasa sebagai media komunikasi antarwarga. Ketidakmengertian bahasa akan rentan menimbulkan kesalahpahaman bahkan bisa jadi memunculkan konflik. Kita yang satu bangsa dan bahasa saja masih sangat rentan terhadap miskomunikasi. Apalagi dengan mereka yang berbeda negara, bangsa, juga bahasa.
Tentu, hal itu bukan untuk ditakuti. Oleh sebab itulah, mempelajari bahasa orang lain bisa menjadi kesempatan untuk mengenal bangsa lain, meluaskan sudut pandang, membukakan cakrawala pemikiran, serta memudahkan interaksi sehari-hari dengan mereka nantinya. Sehingga, integrasi ekonomi yang menjadi salah satu tujuan AFTA juga secara pelan-pelan bisa diwujudkan.
Rumah Bahasa yang diinisiasi oleh Pemerintah Kota Surabaya itu pun berupaya mengakomodasi sekaligus menyiapkan masyarakat untuk optimis menghadapi AFTA. Tidak hanya belajar bahasa Inggris dan Mandarin, tapi akses informasi, kecakapan berteknologi, juga aneka keterampilan lainnya disiapkan untuk dilatihkan pada masyarakat. Warga tinggal datang ke Rumah Bahasa di Kompleks Balai Pemuda yang terletak di pusat kota tersebut. Akses transportasi menuju situ pun mudah. Mau naik angkot, sepeda motor, bus kota, taksi, sepeda, ataupun jalan kaki, bisa.
Keberadaan Rumah Bahasa ini patut diapresiasi. Sebab, pembentukannya tidak hanya bersifat atas-bawah, tapi juga merupakan integrasi dari berbagai pihak, baik itu kalangan akademis, profesional, maupun pelatih keterampilan. Ragam klinik, seperti: perdagangan, investasi, ketenagakerjaan, juga UKM juga disiapkan di Rumah Bahasa. Bahkan, warga pun diberi kesempatan untuk beragih (sharing) pengalaman, ilmu, dan keterampilan mereka secara sukarela pada warga lainnya. Pada awal pembukaan saja, ada 200 yang terdaftar sebagai pengajar. Jumlahnya diprediksi terus bertambah meski imbalannya hanya sertifikat. Semangat berbagi, itulah yang disuntikkan melalui Rumah Bahasa.
Bagi pengemudi becak, taksi, bus, angkot, pedagang kaki lima, pelaku wisata, penggerak Usaha Kecil dan Menengah, siswa, mahasiswa, juga warga biasa dipersilakan untuk datang belajar di Rumah Bahasa ini antara pukul 09.00 hingga 21.00. Namun, bagi mereka yang hanya bisa di luar jadwal tersebut, bisa mengajukan di bagian registrasi, demikian dikatakan oleh Hari Triono, Kasubag Kerjasama Luar Negeri, Bagian Kerjasama Pemkot Surabaya.
Pelatihan yang diadakan di Rumah Bahasa itu pun bisa diikuti warga tanpa melalui mekanisme rumit. Siapa pun boleh mendaftar, baik melalui situs www.surabaya.go.id atau datang langsung ke Balai Budaya dengan membawa KTP. Dan, tentu saja tidak dipungut bayaran.
Tiap peserta pelatihan akan memperoleh kesempatan belajar bahasa asing selama 45 menit tiap harinya. Untuk bahasa Inggris dibuka setiap hari, sementara bahasa Mandarin tiap Senin dan Kamis. Menarik, bukan?
Sebagai mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di kota ini, saya menyambut antusias dan optimis keberadaan Rumah Bahasa ini. Meski belum sampai ikut berkontribusi menjadi pengajar, namun saya akan sigap membagikan informasi tentang Rumah Bahasa ini pada siapa saja. Sebab, saya yakin Rumah Bahasa ini didirikan dengan semangat ketulusan berbagi, gotong royong, dan membantu satu sama lain. Hal yang meski kian langka di kota besar, namun bukan berarti ia padam sama sekali. Butuh para anak muda lagi untuk semangat menggerakkan kegiatan ini.
Bahkan, sebagai mahasiswa rantauan, saya terpikir untuk menduplikasi kegiatan ini di tempat kelahiran saya, Lombok. Sebab, saya merasakan manfaat yang besar dari kemampuan dan keterampilan berbahasa. Bisa mengunjungi berbagai daerah di Jawa dan Sumatera adalah salah satu keuntungan dari keterampilan berbahasa. Kunjungan-kunjungan itu pun kian membukakan mata saya mengenai keberagaman, ketidakpicikan dalam menilai sesuatu, keterbukaan dalam berpikir, serta menumbuhkan semangat untuk berkontribusi dengan cara yang bisa saya lakukan.
Saya pikir, semangat yang ada di balik Rumah Bahasa ini perlu diduplikasikan di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Sebab, ia terbangun dari sikap mental yang positif, yakni bagaimana saling memajukan satu sama lain.
Saya membayangkan orang-orang di NTT fasih berbahasa Inggris. Saya memimpikan para warga di Aceh cakap berbahasa Mandarin. Saya mencita-citakan masyarakat Lombok, tanah kelahiran saya, mahir kedua bahasa itu. Saya membayangkan masyarakat Indonesia yang besar ini berdaya saing dan punya rasa percaya diri tinggi kala berhadapan dengan orang-orang dari negeri tetangga.
Menggandakan hal-hal baik nan positif yang salah satunya tercermin dari Rumah Bahasa sebagai upaya menghadapi AFTA 2015, mengapa tidak? Yuk, mulai dari sekarang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar